Pasar minyak sawit Asia terus bertransformasi menuju minyak sawit berkelanjutan sustainable palm oil. Panggilan hijau dari pasar tujuan ekspor ini ikut memacu perbaikan tata kelola dan praktik sawit Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia.
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia harus beradaptasi dengan perubahan gaya hidup yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. 65% minyak sawit Indonesia diekspor, terutama ke Tiongkok yang juga sudah memberikan sinyal untuk menerapkan standar berkelanjutan terhadap minyak sawit yang masuk pasar Tiongkok.
Perubahan tren pasar ini memacu praktik sawit berkelanjutan di Tanah Air. Tidak terkecuali pekebun sawit swadaya yang menyumbang 41?ri 16,38 juta hektare total luas lahan tutupan sawit Indonesia.
Kepala Sekretariat Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi), Rukaiyah Rafik menyatakan panggilan hijau dari pasar Tiongkok kian memacu petani sawit swadaya untuk meningkatkan tata kelola dan praktik sawit berkelanjutan. Namun pemenuhan standar itu masih membutuhkan waktu dan proses yang panjang serta dukungan seluruh pemangku kepentingan sawit.
Direktur Perlindungan Perkebunan Ditjen Perkebunan Kementan, Baginda Siagian mengakui sertifikasi minyak sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO) saat ini masih menghadapi tantangan di pasar luar negeri. Karena itu, sosialisasi dan diplomasi pasar akan terus dilakukan, termasuk penguatan ISPO dengan insentif seperti klasifikasi harga sawit ke pasar tujuan ekspor.
Hingga akhir 2022 sertifikasi ISPO untuk perkebunan rakyat baru mencapai 1-2?ri 7,6 juta hektare lahan sawit rakyat. Kementerian Pertanian bersama para pihak terus berjibaku agar sertifikasi wajib ini bisa menjangkau seluruh petani sawit swadaya pada 2025.