Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Foto: Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez.
Jakarta: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode pertama Jimly Asshiddiqie mengaku setuju dengan pendapat empat hakim MK yang menyatakan dissenting opinion (pendapat hukum berbeda) terhadap putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebanyak empat hakim MK menyampaikan dissenting opinion yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Menurut keempat hakim konstitusi itu, tidak seharusnya MK mengabulkan permohoan soal masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang dari 4 menjadi 5 tahun. Sementara lima hakim konstitusi mengabulkan gugatan uji materiil Undang-Undang No.19/2019 tentang KPK terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron itu.
"Yang lebih tepat adalah pendapat (hakim) yang dissenting, karena diskriminasi itu adalah Hak Asasi Manusia, bukan lembaga negara yang (mana) terserah (pembuat) undang-undang untuk mengaturkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD," ujar Jimly, melalui keterangan tertulis, dikutip Sabtu, 27 Mei 2023.
Empat hakim MK beralasan antara lain dengan dikabulkannya permohonan untuk mengubah masa jabatan pimpinan KPK oleh Mahkamah, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. Lalu, empat hakim itu juga menilai putusan tersebut dapat membuat MK masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang atau menyimpangi kewenangan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembuat UU.
Merespons hal itu, Jimly menjelaskan putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dihormati. Ia mengaku lebih setuju dengan pendapat empat hakim yang menolak memperpanjang jabatan pimpinan KPK.
"Jangan semua diperpolitisasikan. Saya lebih setuju pendapat dissenting, tapi sebagai negara hukum mari kita sama-sama menghormati putusan yang sudah final dan mengikat. Semua pejabat eksekutif dan legislatif jangan berkomentar, meskipun kita tidak suka," papar dia.
Dia mengimbau agar masyarakat menghormati putusan pengadilan yang sudah final dan mengikat dalam upaya membangun peradaban demokrasi dan negara hukum. Meskipun Jimly mengakui bahwa MK sudah beberapa kali menyimpangi kewenangan pembuat UU melalui putusannya.
Ia mencontohkan MK pernah menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak masuk dalam rezim pemilihan umum (pemilu). Adapun yang masuk dalam rezim pemilu menurut MK adalah pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Putusan itu, ujar Jimly, dibuat saat pengujian terhadap UU Pemilu dan setelah adanya kasus suap sengketa pilkada terhadap mantan ketua MK Akil Mochtar.
"Sudah beberapa kali, tapi ada yang tidak jalan. Misal penentuan pilkada sebagai pemilu atau bukan diserahkan kepada pembentuk UU. Tapi setelah (kasus) Akil Mochtar, MK ngeles dengan putusan yang memastikan bahwa pilkada bukan pemilu," ucap Jimly.
Ia menambahkan setelah MK memutuskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, Mahkamah tetap menerima gugatan sengketa pilkada. Padahal, ujar Jimly, MK sudah memutus itu bukan kewenangannya.
"Tapi sekarang ada tindak lanjut, sehingga terus mengadili Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang sudah diputus bukan kewenangan MK karena mau melepas beban. Padahal negarawan tidak boleh lepas beban untuk kepentingan sendiri," tukas Jimly.